inetnews.co.id — Kasus dugaan pencabulan terhadap seorang perempuan penyandang disabilitas ganda di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, kini memasuki babak baru.
Terdakwa AM (71), pria lansia yang kini mendekam di Rutan Kejaksaan Negeri Barru, dijadwalkan menjalani sidang tuntutan pada Selasa mendatang di Pengadilan Negeri Barru.
Kasus ini menyulut kemarahan publik dan kalangan praktisi hukum yang menilai perbuatan pelaku sebagai kejahatan berat.
Baca Juga : ketahuan curang takaran dikurangi spbu rama 47-90703 di barru disegel
Pengacara senior Kota Makassar, Firman, menegaskan bahwa AM layak dijerat dengan pasal berlapis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Peristiwa ini mencoreng moral pelaku dan mencerminkan betapa rentannya perempuan penyandang disabilitas terhadap kekerasan seksual,” ujar Firman dalam keterangannya kepada media.
Kronologi: Dari Salon Menuju Aksi Bejat
Peristiwa memilukan ini terjadi di sebuah salon kawasan Pasar Pekkae, Barru. Pelaku AM awalnya datang untuk memangkas rambut. Namun, niat tersebut berubah menjadi bencana saat pelaku tergoda oleh pegawai salon yang menolak rayuannya.
Dengan modus berpura-pura hendak ke kamar mandi, AM menyelinap ke sebuah kamar di lantai satu, tempat korban seorang perempuan difabel fisik dan intelektual tengah tertidur.
Baca Juga : oknum staf pn barru pukul wartawannya pemred kami akan tempuh jalur hukum
Tanpa menghiraukan kondisi korban yang rentan, pelaku melakukan aksi bejat yang dipergoki langsung oleh salah satu pegawai salon dan ibu korban.
Ironisnya, AM sempat berupaya menyuap keluarga korban dengan uang Rp700 ribu agar kasus ini tak dilaporkan, namun upaya tersebut justru menambah beban hukum yang kini menjeratnya.
Pakar Hukum: Pelaku Bisa Dijerat Pasal Berlapis
Firman bersama Aswandi Hijrah dari Lembaga Hukum Keadilan Nusantara, menilai tindakan AM memenuhi unsur pelanggaran berat. Dalam KUHP, pasal 289 dan 290 menyatakan pelaku pencabulan terhadap korban dalam kondisi tidak berdaya dapat dihukum berat.
Sementara dalam UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022, pelaku yang menyasar penyandang disabilitas mendapat ancaman pidana lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam pasal 42 hingga 47.
“UU TPKS tegas memberikan perlindungan khusus bagi korban disabilitas. Negara wajib memastikan keadilan bagi mereka,” tegas Aswandi.
Gelombang Protes Publik di Barru
Kasus ini memicu gelombang kemarahan warga Barru. Tokoh masyarakat di Pekkae meminta aparat hukum memberikan hukuman maksimal.
“Kami minta jaksa dan hakim tidak memberi ampun. Ini bukan sekadar pelecehan biasa korban difabel, pelaku lansia, seharusnya jadi teladan, bukan aib,” kata seorang warga.
Sebagian warga bahkan menyarankan pelaku dijatuhi sanksi sosial agar memberikan efek jera dan menjaga nama baik Barru.
Korban Tanpa Pendampingan Hukum, Aktivis Protes
Mirisnya, selama enam kali persidangan, korban belum mendapatkan kuasa hukum pribadi. Kondisi ini menuai kritik dari aktivis hak disabilitas yang mendesak agar korban difasilitasi pendampingan hukum.
“Tanpa kuasa hukum, hak-hak korban rentan diabaikan,” ujar Firman yang menyerukan agar pihak pengadilan dan kejaksaan memberikan atensi serius.
Baca Juga : oknum staf pn barru pukul wartawan saat liputan kebebasan pers dibelenggu
Jaksa Penuntut Umum Kejari Barru, Muhammad Aslam, memastikan seluruh alat bukti, visum, dan keterangan saksi telah lengkap dalam berkas tuntutan.
“Sudah saatnya hukum menunjukkan keberpihakannya kepada korban yang lemah. Ini bukan sekadar keadilan, tapi soal martabat kemanusiaan,” tegas Firman.
Kini, mata publik tertuju pada Pengadilan Negeri Barru, yang dijadwalkan membacakan tuntutan pada sidang pekan depan. Vonis ini diharapkan memberi efek jera bagi predator seksual dan keadilan nyata bagi korban difabel yang kerap terlupakan.
Editor : AKB/ID
Follow Berita Inetnews.co.id di Google News